Rabu, 31 Maret 2010

Substitusi “Laki-laki Feminim” Terhadap Wanita

Oleh Purwandana Budyandaka

Tanda-tanda akhir zaman sudah semakin terlihat belakangan ini, seperti yang dikatakan semakin banyak bencana-bencana alam dahsyat yang terjadi, seperti tsunami, gempa berskala besar, dan lainnya. Semakin banyak laki-laki yang ingin menjadi perempuan atau sebaliknya perempuan yang ingin menjadi laki-laki, bahkan hubungan seks dengan kelamin sejenis pun seperti sudah hal biasa. Dapat disimpulkan bahwa kiamat semakin dekat. Dalam hal ini saya akan membahas mengenai laki-laki yang bertingkah, berdandan ataupun sampai melakukan operasi agar mereka dapat menjadi perempuan.

Perempuan-perempuan normal pasti akan bertingkah sebagaimana wajarnya perempuan, yaitu dengan bersifat feminim. Tetapi dapat kita sadari juga bahwa di Negara Indonesia kita tercinta ini semakin banyak dan seperti menjamur para lelaki yang ingin menjadi seperti perempuan ataupun perempuan yang ingin menjadi seperti laki-laki. Dalam hakikatnya kita diciptakan oleh Allah swt. sebagai perempuan dan laki-laki, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri, apa yang kita ketahui saat ini yaitu bahwa laki-laki wajib untuk bekerja dan menafkahi istri dan anak-anaknya, sedangkan sang istri kebanyakan dirumah untuk mengurus anak dan membersihkan rumah, tetapi mungkin pada zaman yang sudah maju ini banyak wanita yang juga bekerja dan berkarier sebaliknya banyak juga laki-laki yang hanya diam dirumah seperti menggantikan tugas istri. Tetapi dalam hal ini sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender,

Menurut Mill, tidak seorang pun yang mengetahui sejarah manusia dapat berargumentasi bahwa semua laki-laki adalah lebih kuat dan lebih pintar dari semua perempuan. Karena perempuan rata-rata tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat dilakukan laki-laki rata-rata, yang tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal itu (Tong, 2004:27).

Sudah jelas bahwa dalam kegiatan reproduksi, masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa wanita dapat hamil dan laki-laki tidak. Kita tidak dapat menggantikan kedudukan tersebut, dengan substitusi bahwa laki-laki dapat hamil dan wanita tidak.

Menurut feminis radikal-libertarian Gayle Rubin, “sistem seks/gender adalah suatu rangkaian pengaturan , yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasi seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia”.

Jadi misalnya, masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon), sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku “maskulin”, dan “feminim” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan (Tong, 2004:72).

Maraknya banci di Indonesia seperti menjadi trend masa kini atau semacam itu, banyak artis banci yang sedang naik daun seperti menjadi panutan untuk anak-anak muda zaman sekarang, apa yang mereka tunjukkan di televisi banyak ditiru oleh para penonton. Ini sangat berpengaruh terhadap kelakuan sehari-hari dan sifat yang terbentuk akibat contoh-contoh yang seperti itu. Padahal yang saya telusuri, laki-laki yang memiliki sifat feminim seperti perempuan tidak sepenuhnya keinginan mereka, bisa saja karena faktor dia adalah anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga dan saudara yang lainnya perempuan, sehingga dia terpengaruh kebiasaan atau sifat-sifat saudara-saudaranya. Ada juga faktor lain yaitu faktor ekonomi, dapat kita lihat, banci-banci yang menjadi pengamen untuk sekedar mencari uang, bisa saja di dalam kehidupan biasanya dia adalah seorang laki-laki yang sangat maskulin tetapi karena himpitan ekonomi, dia memutuskan untuk berdandan menyerupai perempuan dan bicara serta sikapnya seperti perempuan agar dapat menarik orang lain untuk memberikannya uang lebih.

Faktor-faktor seperti itu yang dapa merubah persepsi orang terhadap feminisme dgn maskulinitas, banyak orang beranggapan bahwa maskulinitas itu identik dengan permainan kekerasan semua kebanyakan tentang kekerasan, tetapi feminism itu identik dengan boneka, semua yang lemah lembut dan identik sekali dengan perempuan.

Antara lain, feminis radikal-libertarian menolak asumsi bahwa ada, atau seharusnya ada, hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan) dengan gender seseorang (maskulin atau feminim). Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin., dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (“penuh kasih saying, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah”) dan laki-laki tetap pasif (“kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil dan kompetitif”) (Tong, 2004:72-73).

Dalam hal ini “laki-laki feminim” tersebut atau sering disebut banci, tidak menyadari bahwa mereka kita anggap sedikit aneh atau extraordinary atau berbeda dari kita sendiri, mereka merasa seperti perempuan padahal jenis kelamin mereka laki-laki, ada juga yang sampai melakukan operasi jenis kelamin dan sebagainya agar mereka dapat menyerupai perempuan tetapi secara genentik mereka sangatlah berbeda, sudah jelas bahwa perempuan dapat hamil dan melahirkan sedangkan laki-laki hanya berperan kecil dalam proses reproduksi.

Di dalam bukunya Of Woman Born, Adrienne Rich menulis bahwa laki-laki menyadari bahwa patriarki tidak dapat terus berlangsung, kecuali jika laki-laki dapat menguasai kekuatan perempuan untuk “menghadirkan atau tidak menghadirkan” kehidupan di dunia ini (Tong, 2004:113).

Mungkin dari segi sikap dan tingkah laku, banci menyerupai perempuan bahkan mungkin hingga cara berpakaian, tetapi mereka sedikit banyak merusak citra perempuan, dengan menunjukkan sikap mereka atau cara berbicara yang berlebihan. Kebanyakan banci yang tampil di televisi berperilaku sangat berlebihan, padahal perempuan tidak bertingkah atau berperilaku berlebihan seperti yang ditunjukkan oleh banci-banci tersebut. Contohnya seperti baju-baju yang dikenakan oleh banci-banci tersebut, apakah perempuan selalu mengenakan baju pink lalu model baju tersebut sangat minim? Contoh lain mungkin dapat dilihat jelas melalui cara bicara yang centil dan berlebihan, apakah perempuan selalu bebicara dengan nada centil dan berlebihan seperti yang ditampilkan oleh mereka?

Mereka yang disebut dengan kata banci selalu identik dengan sifat yang feminim atau lemah gemulai dan kemayu layaknya perempuan. Walaupun mereka bertingkah menyerupai perempuan, tetapi mereka tidak memiliki apa yang dimiliki oleh perempuan-perempuan normal. Zaman sekarang sudah sangat canggih, mereka bisa melakukan operasi plastik ataupun operasi pergantian kelamin, tetapi mereka tidak mempunyai insting keibuan. Contohnya seperti koneksi batin antara anak dan ibu kandung, apa mungkin seorang transeksual dapat mempunyai anak dari kandungannya sendiri? Saya rasa tidak mungkin, karena Allah swt. telah memberikan masing suatu kelebihan antara laki-laki dan perempuan.

Masyarakat patriarkal mengajari anggotanya, bahwa perempuan yang mengandung seorang anak adalah orang yang paling tepat untuk membesarkannya. Dalam memandang keyakinan ini sebagai satu hal yang seringkali menuntut banyak hal dari tubuh dan energi perempuan, feminis radikal-libertarian cenderung untuk berargumentasi secara kuat melawan gagasan mengenai ibu biologis (Tong, 2004:119).

Dengan itu sangat tidak memungkinkan bahwa banci menggantikan posisi wanita dalam reproduksi dan keibuan. Tetapi dalam dunia hiburan, banci seperti dijadikan ikon sebagai bahan lawakan dan banyak diejek atau dihujat oleh lawan mainnya untuk dijadikan tertawaan oleh penonton. Banci selalu identik dengan cara bicara yang kemayu dan menyerupai wanita, dapat dicintohkan dengan artis-artis sekarang seperti Olga Syahputra yang selalu tampil dalam acara lawak dan memerankan sebagai wanita dalam lawakannya, dia dalam acara tersebut hanya apa adanya seperti kehidupannya sehari-hari, dapat dibandingkan dengan Tessy yang terkenal melalui acara Srimulat, di dalam acara tersebut, dia hanya mengenakan pakaian layaknya wanita dan bertingkah seperti wanita, namun di kehidupan sehari-hari dia tetap bersikap layaknya laki-laki normal maskulin. Dalam hal ini dia menggunakan karakter “banci” yang identik dengan kata “lucu” untuk mencari nafkah.

Sangat berbeda dengan Ivan Gunawan dimana yang sehari-hari tetap bersikap feminim mengenakan pakaian seperti wanita dan berbicara layaknya wanita. Tingkat feminim dari orang-orang teresebut berbeda-beda. Para laki-laki feminim tersebut seperti mengalami gangguan psikologis dalam dirinya entah bingung mencari jati dirinya atau banyak terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya atau juga memang hany dibuat-buat untuk menarik perhatian orang. Faktor pergaulan mungkin dapat berpengaruh besar terhadap feminim atau tidaknya seseorang. Sedikit banyak, para laki-laki feminim tersebut dapat merusak citra perempuan, karena sepertinya mereka menggantikan posisi perempuan dibidangnya. Banyak dari yang mereka tampilkan sangat bertentangan dengan perempuan yang sebenarnya. Apalagi televisi sekarang sangat banyak yang menampilkan banci-banci dalam acara-acaranya bahkan mereka seperti sangat mendominasi dunia hiburan masa kini. Ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat luas, apalagi terhadap anak-anak yang masih sangat labil. Sesuatu yang diulang-ulang, sedikit banyak pasti akan terus teringat oleh orang yang melihatnya, bahkan dapat mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

Semoga dengan adanya tulisan ini dapat membantu masyarakat untuk memilih dan menentukan mana yang baik dan tidak baik untuk dicontoh serta dapat menyadarkan masyarakat akan kesadaran pengaruh televisi terhadap diri kita sendiri. Saya tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun, tulisan ini hanya untuk referensi bagi kita semua agar dapat lebih baik dalam menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita, dan yang saya bahas dalam tulisan ini adalah tentang “laki-laki feminim” atau banci. Semoga dapat bermanfaat.

Daftar Pustaka

Tong, Rosemarie Putnam (2004). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Kamis, 18 Maret 2010

sebuah tulisan dari saya sendiri mengenai media dan dunia politik yg dimuat dalam buku "Dari Lapangan Hijau sampai Senayan".

Politik Tunduk Pada Pers dan Media?
Oleh Purwandana Budyandaka

Dalam pemilu yang telah dilakukan di Indonesia yang mana telah ditetapkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang terpilih kembali, banyak kegiatan-kegiatan partai-partai politik di Indonesia yang bergantung kepada pers, tidak lain untuk menarik simpati masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh partai-partai politik tertentu yang hanya pada musim kampanye saja gencar dilakukan.
Cara tersebut tidak lain adalah sebagai suatu strategi politik yang telah diterapakan sejak pemilu yang terdahulu untuk mendapatkan suara rakyat agar pemimpin dari partai tersebut dapat menang dalam pemilu. Dalam hal ini pers sangat berperan penting dalam mempublikasikan kegiatan-kegiatan dari partai tersebut, pada saat ini lah pers dapat mendulang banyak keuntungan dari partai-partai politik yang menggunakan jasanya. Dalam proses publikasi tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui surat kabar, poster, baliho ataupun televisi.
Dalam publikasi melalui surat kabar ataupun televisi tersebut pun dapat dilakukan dalam berbagai cara agar dapat mencolok dapat mendapat perhatian dari masyarakat luas. Contohnya mungkin seperti melalui halaman depan surat kabar, iklan calon presiden bersama wakilnya dalam surat kabar, berita televisi, iklan sang calon presiden beserta wakilnya di televisi, membuat slogan yg mudah diingat oleh masyarakat umum contohnya seperti Lanjutkan! atau Lebih Cepat Lebih Baik, sampai dengan membuat baliho yang berukuran besar yang sebenarnya menganggu lalu lintas dan penglihatan di jalan raya. Dalam hal pemasangan baliho sebenarnya sudah mencerminkan pemimpin yang kurang perduli terhadap rakyat, Negara dan lingkungannya, apalagi sampai menganggu fungsi jalan raya.
Pada tahun 1987, muncul sebuah karya ilmiah yang membahas tentang liputan berita pemilu 1977 di Indonesia. Studi ini mengambil sample atas 5 surat kabar yang terbit di Ibu Kota, yaitu Suara Karya, Pelita, Merdeka, Berita Yudha, dan Berita Buana. Unit analisisnya adalah isu-isu kampanye yang dituangkan dalam rubrik berita, tajuk, artikel, dan karikatur. Melalui analisis isi, studi ini berkesimpulan bahwa surat kabar yang dikonotasikan sebagai surat kabar yang mempunyai kaitan dengan salah satu kekuatan politik, memang dengan tegas mencerminkan sikap keterkaitannya dengan salah satu kontestan pemilu yang ada. Kecuali Suara Karya, surat kabar tersebut merupakan trompet dari salah satu kekuatan politik yang ada (Suwardi, 1993 : 56).
Pada tahun 1989 terbit buku berupa kumpulan thesis mengenai analisis isi surat kabar di Indonesia tentang berita politik dan pembangunan. Thesis dalam program S2 dari orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Ohio (Amerika Serikat) tersebut salah satunya membahas pemilu 1977 di Indonesia. Walaupun yang diteliti sama dengan peneliti pertama, namun penelitian yang satu ini menitikberatkan kepada liputan berita politik dari lima surat kabar yaitu Merdeka, Kompas, Sinar Harapan, Suara Karya, dan Pelita. Penelitian ini mempunyai kesamaan di dalam pilihan sample medianya, akan tetapi unit analisisnya berbeda. Demikian juga, penelitian ini lebih banyak menekankan kepada peranan dari ketiga kontestan yang ada dengan menggunakan unit analisis volume pemberitaan, maupun Distribusi frekuensi dari judul berita per kolom besar dan kecil. Penelitian ini melihat kepada luas setiap judul berita atau foto yang diberikan kepada salah satu kontestan serta besar volume yang diberikan keapada masing-masing kontestan. Dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelima surat kabar yang diamati memperlihatkan sikap yang netral terhadap ketiga kontestan pemilu tersebut, kecuali Surat Karya (Suwardi, 1993:56-57).
Walaupun kedua penelitian tersebut berbeda dalam cara pendekatannya, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa surat kabar atau pers berperan besar dalam menginformasikan atau mempublikaskan kegiatan pemilu tersebut. Hal ini masih sering digunakan sampai sekarang, bahkan pada masa pemilu yang sekarang lebih gencar dalam menggunakan pers dan media-media lain. Bahkan ada yang memonopoli suatu media hanya untuk kepentingan mempublikasikan kegiatan-kegiatan seorang kandidat agar mendapat perhatian lebih dari masyarakat.
Pada saat ini, di zaman yang sudah sangat maju ini, media televisi lebih banyak digunakan oleh para politisi sebagai media untuk menaikkan citra ataupun untuk mempromosikan dirinya bahwa dia yang terbaik untuk menjadi presiden melalui agenda-agenda kegiatan yang sudah ia siapkan untuk memimpin Negara ini agar lebih baik. Televisi sebenarnya lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan masyarakat, oleh karena itu media ini dapat lebih efektif untuk mempengaruhi masyarakat daripada menggunakan media surat kabar, karena surat kabar hanya di baca oleh kalangan yang terbatas, sedangakan televisi di tonton oleh semua kalangan dari anak kecil sampai orang dewasa. Itu sebabnya mengapa televisi lebih dipilih oleh para politisi sebagai media untuk menampilkan kontroversi ataupun kelebihannya dalam dunia politik di Indonesia. Tetapi karena terlalu banyak calon presiden ataupun kandidat partai-partai politik Indonesia yang menggunakan media televisi ini berdampak kurang baik terhadap pemilu saat ini, karena banyaknya iklan mereka di televisi membuat bingung masyarakat awam untuk memilih karena semua kandidat pasti menampilkan yang terbaik dalam iklan mereka.
Di dalam perpustakaan ilmu komunikasi, khususnya dalam bidang media komunikasi massa, banyak para ahli dalam bidang ini beranggapan kuat bahwa media massa mempunyai keampuhan yang luar biasa di dalam memperkuat suatu sikap atau keadaan yang sudah ada di dalam masyarakat. Dengan demikian media massa sudah dianggap sebagai salah satu lembaga yang berkemampuan ikut menentukan apa yang ada di dalam benak seseorang. Dengan kata lain, media ikut berperan sebagai faktor yang mengabsahkan sesuatu yang sudah ada dalam benak atau pikiran seseorang tentang suatu realita sosial yang ada. Para ilmuwan komunikasi yang berpendapat demikian antara lain adalah Walter Lippmann (1922,1965) dan C. Wright Mills (1968) (Suwardi, 1993:62).
Beberapa penelitian yang telah memberikan perhatian khusus kepada penting dan bermanfaatnya media telah dilakukan sejak 1950-an, terutama setelah Wilbur Schramm (1964) menerbitkan buku Mass Media and National Development. Sejak itu mulai banyak tulisan yang membahas manfaat media massa dalam kehidupan politik. Pentingnya media massa dalam pemilihan umum telah pula ditunjukkan oleh Dan Nimmo Dia berpendapat bahwa untuk mempersiapkan suatu kampanye politik , para calon presiden harus mampu menyediakan biaya yang cukup besar untuk media (Suwardi, 1993:70) .
Melalui media massa, katanya, semua informasi mengenai ciri calon presiden akan banyak diperoleh. Dan dalam kaitan ini dengan sendirinya peranan daripada para komunikator profesional (antara lain para Public Relations Specialists) akan merupakan tumpuan kepercayaan bagi para calon untuk bisa memenangkan pemilu (Suwardi, 1993:70).
Peran media dan pers di Indonesia sudah sangat besar sehingga menyebabkan banyak dari orang-orang yang berkepentingan seperti bergantung atau “tunduk” kepada media dan pers, karena semua yang berkepentingan dalam “mempromosikan” dirinya ataupun partai politik miliknya akan rela mnengeluarkan dana yang cukup besar agar iklan tentang dirinya atau partainya dapat terus ditayangkan secara intens di televisi, atau dalam halnya surat kabar dapat mencetak besar iklan mengenai dirinya dan partainya tersebut.
Pernyataan di atas secara tidak langsung membuktikan bahwa media dan pers sangat berperan penting dalam menciptakan suatu citra baik ataupun buruk bagi yang pengguna jasa atau profesi yang terpaut dengannya. Dapat dicontohkan dengan upaya para politisi- politisi di Indonesia dengan menggunakan jasa media dan pers untuk menaikkan citranya sebagai politisi yang baik dan mengayomi masyarakat untuk mendapatkan jabatan yang diinginkannya di dalam lembaga kenegaraan, Karena media dengan mudah dapat mempengaruhi masyarakat yang membaca surat kabar ataupun acara televisi dimana terdapat iklan para politisi tersebut yang dapat meyakinkan atau membuat masyarakat tersebut memilih salah satu dari mereka karena yakin dengan citra yang telah diciptakan oleh para politisi tersebut melalui iklan mereka dalam televisi.
Ataupun yang sedang marak pada waktu pemilu tahun 2009 lalu yaitu artis yang memilih menjadi calon wakil rakyat padahal mereka pun belum tentu dapat melaksanakan tugasnya di lembaga kenegaraan tersebut dengan baik. Kebanyakan dari mereka mungkin hanya mengandalkan atau memanfaatkan nama besar mereka sebagai artis ternama di Indonesia yang kebanyakan sudah diketahui oleh masyarakat di Indonesia. Terpilihnya mereka pun tidak luput dari peran media dan pers selama mereka menjadi artis, apa artinya jika artis tanpa media dan pers, siapa yang akan mengenal mereka? Menurut saya kebanyakan masyarakat di Indonesia memilih para artis tersebut menjadi wakil rakyat tidak secara objektif tapi kebanyakan lebih subjektif. Maksud dari subjektif disini adalah citra mereka sebagai orang yang terkenal di Indonesia sebagai pemain film, sinetron, penyanyi atau model yang disukai oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat memilih karena mengenal mereka sebagai artis saja, bukan sebagai politisi, ataupun latar belakang pendidikan, pengalaman dalam bidang politik dan sebagainya. Sebagian juga berpikir dengan memilih artis mungkin kebutuhan masyarakat akan lebih terpenuhi karena artis lebih mampu dalam segi ekonomi, padahal belum tentu yang diharapkan tersebut akan terwujud. Begitu juga dengan kegiatan politik yang melibatkan masyarakat sebagai penentunya, apa yang dapat diperbuat oleh para politisi-politisi di Indonesia jika tidak ada media dan pers yang merekam seluruh kegiatan bakti sosial ataupun pundi amal yang mereka selenggarakan untuk menarik simpati masyarakat luas. Mereka akan lebih sulit untuk menaikkan citra mereka di masyarakat seluruh Indonesia, mereka harus keliling Indonesia untuk melakukan kegiatan yang sama di setiap propinsi dengan merata, tetapi dengan bantuan media dan pers pekerjaan mereka akan lebih ringan karena cukup dengan ditayangkan saja beberapa kegiatan-kegiatan positif mereka sudah dapat meningkatkan citra mereka di masyarakat Indonesia. Dari sini dapat ditunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya media dan pers bagi penggunanya.
Dapat dicontohkan kembali bagaimana pentingnya media dan pers bagi politik di Indonesia yaitu dengan yang baru saja disiarkan pada tanggal 31 oktober 2009 dalam sebuah acara peringatan 45 tahun partai Golkar. Pada saat acara tersebut ditanyakan oleh sang presenter bagaimana positioning partai Golkar dalam DPR pada saat ini dimana hanya 3 kadernya yang terpilih disana, dimana kalah dalam hal suara dengan partai Demokrat yang sebagian besar kadernya sekarang terdapat di DPR. Disini dijelaskan oleh salah satu perwakilan dari partai pohon beringin tersebut bahwa kadernya akan terus menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat dan mereka akan lebih banyak bermain dengan kalangan bawah atau yang disebut rakyat daripada dengan kalangan atas atau seperti elit-elit di Negara. Di akhir acara pun mereka menyebutkan slogan mereka yaitu “Suara rakyat adalah suara Golkar dan suara Golkar adalah suara rakyat” (TVone 2009, 31 Oktober). Dari sini dapat disimpulkan dengan mengadakan acara peringatan 45 tahun partai Golkar yang diliput oleh hanya stasiun televisi tersebut, mereka secara tidak langsung sekaligus ingin menaikkan kembali citra partai Golkar yang hanya menyuarakan kepentingan rakyat saja yang sempat turun pada masa belakangan ini karena konsistensi mereka yang turun terhadap janji-janji mereka.
Yang dapat dijelaskan sebagai media pada saat ini tidak hanya televisi, surat kabar, dan radio saja. Saat ini sudah ada yang dinamakan sebagai internet dan dapat disebut sebagai salah satu media yang paling efektif untuk memberi informasi yang cepat dan dapat mempengaruhi si pembaca dengan lebih efektif. Keefektifan suatu media dalam memberi pengaruh kepada penggunanya tidak hanya dapat dilakukan dalam sekali penayangan ataupun sekali pemuatan saja, dibutuhkan pengulangan dalam hal pemuatan dan penayangan suatu iklan atau promosi agar dapat memberi efek yang persuasif terhadap pendengar, pembaca atau penontonnya. Salah satu contoh dapat diambil dari presiden terpilih Amerika saat ini, yaitu Barrack Obama. Ia banyak menggunakan media internet sebagai lahan promosi agar dapat mengenal dirinya lebih dalam dan lebih baik. Tetapi banyak juga kontroversi-kontroversi yang terjadi di internet karena informasi yang berbeda-beda dari tiap sumber yang berbeda. Jadi semua pilihan itu tergantung dari diri masyarakat masing-masing, dan informasi melalui media-media tersebut sangat dapat mempengaruhi jalan pikiran suatu individu untuk memilih yang sesuai dengan hati masyarakat awam.
Kampanye ataupun “promosi” tidak hanya dapat dilakukan pada saat pemilu saja, yang dapat diartikan dari kampanye itu sendiri pun cukup luas. Mengapa mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti bakti sosial ataupun menolong korban bencana pada saat setelah masa politik? Contohnya seperti waktu bencana Situ Gintung yang terjadi pada masa-masa pemilu dan sangat terekspose oleh media dan pers. Partai-partai politik berbondong-bondong menuju ke situ gintung di dekat daerah cirendeu jakarta barat tersebut untuk memberikan sumbangan, berupa bantuan materiil ataupun non materiil, mereka beramai-ramai menaikkan bendera kebanggan partai mereka masing-masing agar mendapatkan sorotan dari pers maupun media. Tetapi pada bencana gempa yang menimpa padang baru-baru ini, tidak ada satupun partai politik yang menmberikan bantuan kepada korban-korban bencana gempa tersebut, karena masa pemilu telah berakhir dan presiden baru telah ditetapkan. Apa yang direncanakan partai-partai politik tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia, dari situ saja dapat disimpulkan bahwa mereka masih memikirkan kepentingan diri sendiri, apalagi jika telah menjadi presiden ataupun bekerja di lembaga-lembaga kenegaraan, akankah mereka yang telah dipilih oleh rakyat akan memperhatikan kepentingan rakyat?

Daftar Pustaka

Suwardi, Harsono (1993). Peranan Pers Dalam Politik di Indonesia : suatu studi komunikasi politik terhadap liputan berita kampanye pemilu 1987. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rabu, 06 Januari 2010

welcome to my blog!

dalam blog ini saya akan membahas apapun yg terjadi dalam fenomena sehari-hari, aktivitas sosial, politik, sampai dengan musik.
so..
welcome to my blog!!

regards.